Sabtu, 02 April 2011

Mengejar Senja


“Aku ingin senja sore ini…, paling tidak aku ada di sana duduk menantinya walau nanti ada mega mendung yang menggiringnya pulang ,aku hanya ingin ada  saat dia bergegas ke peraduan, dan aku dapat lekat-lekat mengamatinya, merasakan lelahnya, melihat sampai di batas lelahnya ingin beristirahat, dia masih menyerupa indah keemasan. Seperti saat-saat perpisahan merantau, aku selalu ingin datang lebih awal agar bisa membingkis rinduku nanti, menata-nata hati agar kesedihan sedikitnya dapat terkurangi.”

Senja. Istimewa. Karena indah yang sekejap. Membuat pengagumnya kian penasaran. Sampai ketika dia tertutup mega-mega mendung. Pengagum hanya termenung, merasa penantian sehari, harus terpendam dan dibawanya esoknya lagi. 


Tapi tidak sore ini, ada yang benar-benar mengejar senja….

Perempuan itu memulas senyum saat angin menyibak-nyibak ujung kerudung ungunya. Bergegas melewati pasar, rel kereta  dan sawah. Dinaikinya bukit-bukit, disapanya dengan senyum anak-anak yang bergegas lari-lari mau mandi. Tatapanya hanya tertuju untuk senja.

Dipilihnya duduk menghadap arah senja. Memandang prosesi keindahan. Mega-mega dibuat keemasan. Hatinya yang sedari tadi riuh berkata-kata, dibiarkannya tutup sejenak. Seakan menyadari inilah saat yang paling dia tunggu. Saat yang paling tidak ingin disia-siakan. Seperti saat-saat perpisahaan, di lebih hanya diam, menyimpan semua gemuruh-gemuruh di cawan hatinya. Bedanya kali ini dia tidak menangis…, ini prosesi perpisahan yang indah, dipulas warna dari Ilahi.

Senja merekah, Sinar-sinar jingga turut menghujani bukit menjadi kekuningan. Cahayanya bercerita, 

“Seharian sudah aku di atas mega, menatapi wajah-wajah yang ingin mengayuh upaya di luar rumah, menerangi tapak-tapak penanam kehidupan, saatnya aku keperaduan, biarkan yang lelah seharian merebahkan tubuhnya. Dan prosesi pamit ini adalah keindahan yang kusembahkan pada kalian agar bahagia. Gusti Allah yang melukiskan semua ini untuk hambaNya “

Di ujung utara gelap pelan-pelan menutup, dimulai juga dengan lampu-lampu bangunan yang terbit satu-satu. Lampu-lampu kendaraan seperti cahaya yang mengalir terlihat dari bukit ini. Suara keindahan lalu mengumandang hingga penjuru mega-mega. Teralun suara adzan, seirama dengan waktu untuk beribadah, khusyuk. Bayangan jingga-jingga yang meneduhkan menyurut perlahan. 

Sepulangnya, dia berhenti di dekat sawah-sawah. Diambil kameranya untuk sebuah gambar ufuk barat. 

“Wiwi, ayo bali….to?”
 
Tidak lama senyumnya memulas lagi, ke arah seorang bocah mengajak kambingnya pulang. Dilihat sambil memiringkan kepalanya. 

“Ayooo bali….wi…” kata bocah itu sambil menarik dua anak kambingnya….

Senja juga sudah kembali. Saya juga. Sudah magrib.

Tidak ada komentar: