Aku menutup mata dan tubuhmu menjelma. Di ujung jariku
lekukmu adalah lembah dan tiap lipatan menyembunyikan jurang dan gua-gua. Hutan-hutanmu
melepas wangi pakis yang basah dan suara-suara binatang liar. Aku takut, tapi
kamu membiarkanku. Aku tersesat, juga
terpikat. Tubuhmu adalah negeri asing, tapi aku tak perlu pemandu. Kita telah
saling melintas perbatasan dan melebur satu bahasa—Avianti Armand, Matahari (Kereta Tidur).
Terkadang memasuki halaman demi halaman, kamu yang terpilih
perannya di sana, kamu bermain dengan asik, begitu pula aku tidak merasa lelah
terus membacamu. Walau terkadang aku ingin ada sebuah pintu menuju bermain
peran denganmu. Namun di sana tertulis hanya kamu yang boleh masuk, dan aku
dipersilahkan duduk di tempat penonton, menyaksikan dan membaca setiap rautmu
saja.
Hanya tersisa aku terduduk ketika pertunjukan selesai, kamu
kembali menutup pintu. Peran di buku itu selesai, aku harus mencarimu di tempat
lain untuk menemukanmu lagi, untuk menyaksikan air wajahmu, sorot matamu, dan
punggung teduh.
foto by farhan
Pasti, akan ada yang datang. Malaikat-Nya, saya menantinya
sore ini. Mungkin hanya untuk sekedar membagi lollipop lalu tertawa bersama. Bahagia
itu sederhana, ketika rumitpun kadang terjadi karena hal sederhana. Benar, sayalah
yang memang harus memilih.
Sore menjelang malam yang hampir menyeluruh jingga, sosok
datang menghampiri saya membawa warna. Ini cinta, terkadang ini harus saya
ciptakan, bukan melulu menunggunya. Benarkan ada malaikat yang mengingatkan
saya.
Thanks ya Allah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar